Ternyata
sudah 2 tahun lebih ya. Gak Terasa. Waktu sepertinya berjalan sangat cepat dan
semakin cepat. Masih ingat jelas bagaimana saat-saat pertentangan hati dimulai,
antara terus bertahan untuk berjalan beriringan atau memutuskan untuk
mengakhiri semuanya dan memilih jalan sunyi sendirian.
Banyak
orang menyesalkan keputusan yang saya ambil, bahkan orang-orang terdekat pun
banyak yang menyuruh saya untuk terus bertahan. “Apa susahnya bertahan?
Sesulit apapun masalahmu pasti nanti akan ada jalan keluarnya. Semua pasti akan
kembali baik-baik saja,” kata mereka saat saya mengatakan ingin menyudahi
semuanya.
Semua
hal yang terjadi saat itu terlalu rumit untuk dijelaskan dan diterima oleh
nalar. Selama ini orang melihatnya baik-baik saja. Kami adalah pasangan yang
serasi. Ya, saya sangat mencintainya. Berada di dekatnya adalah hal yang
membahagiakan. Tapi rupanya ada hal-hal kecil yang membuat semuanya semakin
rumit. Kesalahan-kesalahan yang dulu sepertinya tak terlihat akhirnya membesar.
Terlebih satu kesalahan terakhir yang saya lakukan akhirnya memperburuk
keadaan.
Ya,
saya masih mencintainya. Tapi semua tak bisa lagi sama seperti dulu. Saya
memutuskan untuk mundur. Tak ada gunanya bersama jika hanya saling
menyakiti, jika tak ada lagi rasa saling percaya. Saya pun memilih pergi.
Tak
terasa Desember ini sudah memasuki bulan kesekian saya pergi dan memutuskan
untuk berjalan sendiri, tidak terikat maupun mengikat siapa pun. Sejak saat itu
saya mengalami semacam petualangan hidup. Semua jauh lebih menarik, lebih
mendebarkan, lebih menggairahkan, dan terkadang lebih menakutkan.
Selama
2 tahun terakhir ini banyak hal manis yang saya alami, tapi hal-hal pahit &
getir pun banyak yang menyertai. Pahit pol malah. Bahkan beberapa kali saya
berada di titik nadir, tersungkur, dan ingin menyerah. Tapi tiap kali saya
hendak berhenti melangkah selalu saja ada keajaiban-keajaiban yang Dia
tunjukkan dan meyakinkan saya bahwa jalan yang saya tempuh tidaklah salah.
Melangkah sendiri seperti ini membuat saya semakin menggantungkan diri pada
Sang Pemilik Hidup.
Banyak
orang terdekat menganggap saya keras kepala dan sok idealis. Idealis? Ah
sepertinya tidak juga. Saya hanya tidak mau berkompromi melakukan hal-hal yang
tidak saya inginkan. Saya tidak ingin menjadi robot. Bekerja karena tugas bukan
karena hati. Terdengar egois sih. Tapi memang seperti itu adanya saya.
Soal
keras kepala? Ya kalau itu saya menyadarinya. Mungkin saya seperti laba-laba
kecil si Incy Wincy yang hobi naik talang air. Meski tau hujan turun dia tetep
ngeyel dan pada akhirnya tergelincir jatuh. Hei, tapi bukankah selalu ada
mentari yang akan mengeringkan talang air sehinggi dia bisa naik lagi? Tak ada
duka yang abadi, bahkan bahagia pun ada masa kadaluarsanya.
Sekarang
saya lebih selow menjalani hidup, tidak ngoyo. Materi bukanlah yang utama, tapi
kepuasan hati yang terpenting. Saya tau jalan yang saya hadapi di depan tak
lagi mudah. Saya sendirian memilih jalan sunyi tanpa kawan. Tapi saya sudah
siap melangkah menghadapinya. Kapal yang tertambat di dermaga memang aman dari
amukan badai. Tapi bukan untuk itu kapal diciptakan. Dan sekarang meski
terseok-seok saya sedang berusaha berlayar ke tengah laut menghadapi gelombang
itu. Jika Dia Sang Pemberi Hidup sudah membawa saya melangkah sejauh ini, saya
yakin Dia pun akan menjagai hingga akhir nanti.
Betewe
terimakasih untuk kalian, orang-orang yang tetap setia mendampingi saya,
menghargai keputusan-keputusan saya, dan terus menyediakan telinga serta bahu
untuk bersandar kala saya lelah. Terimakasih untuk pengertian dan kesabaran
kalian dalam menghadapi saya yang keras kepala ini.
Dan
inilah saya, Vera, yang dengan congkaknya berani menantang dunia yang semakin
lama semakin berat dan menakutkan. Yang dengan sombongnya mengacungkan jari
tengah untuk apa yang dinamakan pasrah pada keadaan. Karena hidup adalah soal
perjuangan dan pertaruhan!
Semua pasti akan indah pada waktunya, kupercaya JanjiMu Tuhan :)
Semangat Anak Muda
Do More your Adventure
0 komentar:
Posting Komentar